PERKEMBANGAN MORAL PESERTA DIDIK
PEMBAHASAN
2.1 Ruang Lingkup
Perkembangan Moral.
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan, kesadaran untuk melakukan perbuatan
baik, kebiasaan melakukan baik, dan rasa cinta terhadap perbuatan baik. Moral
berkembang sesuai dengan usia anak. Moral berasal dari bahasa Latin mores
sendiri berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan.
Selanjutnya Salam mengartikan moral sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
kesusilaan (Salam, 2000:2).
Sjarkawi
(2006: 34) menyatakan moral adalah nilai kebaikan manusia sebagai manusia.
Moral memandang bagaimana manusia harus hidup sebagai manusia yang baik.
Perbedaan kebaikan moral dengan kebaikan lainnya adalah kebaikan moral adalah
kebaikan
manusia sebagai
manusia. Kebaikan moral mengandung nilai-nilai yang universal tentang
kemanusiaan. Sedangkan kebaikan lainnya merupakan kebaikan yang dikaitkan
dengan status seseorang misalnya status sebagai siswa, suami, istri, dan
lain-lain. Selanjutnya Sjarkawi (2006: 35) menjelaskan moral berkaitan dengan
moralitas. Moralitas adalah segala yang berkaitan dengan urusan sopan santun.
Moralitas dipengaruhi cara berpikir seseorang tentang moral.
Sedangkan
menurut Henderson (1964: 112) moralitas menunjukkan perbuatan terhadap diri
sendiri atau orang lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir manusia
yaitu kehidupan yang baik.
Haris
(1976: 31) menyatakan moralitas adalah wilayah dari perilaku yang pada dasarnya
berkaitan dengan pembenaran tentang apa yang harus dilakukan, tentang hal-hal
yang benar dan salah, baik dan buruk, dan tentang tugas dan kewajiban. Namun
definisi tidak seluruhnya tepat. Dalam beberapa kasus engkau menyatakan sesuatu
harus dilakukan tetapi hal tersebut tidak berkaitan dengan moral. Misalnya
seseorang harus makan karena dia lapar, atau seseorang dia harus berobat karena
dia sedang sakit.
Turiel
(2007) menyatakan ada perbedaan antara moralitas dan konvensi sosial bagi anak.
Menurutnya perilaku moral, seperti memukul seseorang tanpa alasan, memiliki
efek intrinsik (misalnya kejahatan) terhadap kesejahteraan orang lain. Inti
dari ciri kognisi moral berpusat pada pertimbangan terhadap efek perilaku
tertentu terhadap kesejahteraan orang lain. Konvensi sosial tidak memiliki
konsekuensi interpersonal. Misalnya ketika memberi panggilan “profesor” atau
bapak atau ibu kepada dosen atau menggunakan nama mereka. Konvensi sosial hanya
berkaitan dengan koordinasi sejumlah perilaku yang memperlancar fungsi sosial
kelompok tertentu.
Jamaal
(2005: 135) menyatakan perbuatan-perbuatan bermoral adalah perbuatan perbuatan
terpuji. Durkheim (1990: 5) menyatakan bahwa moralitas akan mencegah individu
agar tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Disiplin moral tidak diciptakan
untuk kepentinganNya tetapi untuk kepentingan manusia. Michaelis (1956: 42)
menyatakan salah satu dari perbuatan moral adalah menghargai orang lain.
Berkaitan dengan nilai-nilai moral yang seharusnya diajarkan oleh sekolah
kepada siswa-siswa, Lickona (1991: 43) menjelaskan bahwa nilai-nilai tersebut
adalah rasa hormat (respect), tanggung jawab (responsbility),
kejujuran
(honesty), keadilan (fairness), toleransi (tolerance), kebijaksanaan
(prudence), disiplin diri (self discipline), suka membantu (helpfulness), belas
kasih (compassion), kerjasama (cooperation), keberanian (courage), dan
demokrasi (democration).
Lebih
lanjut Lickona (1991: 44-45) menjelaskan bahwa rasa hormat yaitu kemampuan
menghormati nilai seseorang atau sesuatu. Rasa hormat dapat dilihat pada tiga
bentuk: menghormati diri sendiri, menghormati orang lain, menghormati kehidupan
dan lingkungan sekaligus memeliharanya. Sedangkan tanggung jawab adalah
kemampuanuntuk merespon. Tanggung jawab lebih ditujukan kepada
kewajibankewajiban untuk peduli satu sama lain dan untuk memelihara
kesejahteraan orang lain. Menurut Lickona sifat jujur, keadilan, toleransi,
kebijaksanaan, dan disiplin diri merupakan bagian dari rasa hormat terhadap
diri sendiri. Sedangkan suka membantu, belas kasih, kerjasama, keberanian, dan
demokrasi merupakan bagian dari tanggung jawab.
Dewey
(2004: 342) menyatakan empati, kebenaran, kejujuran, kesucian, dan
keramahtamahan adalah nilai-nilai moral yang harus diajarkan di sekolah. Sementara
Schiller dan Bryant (1995: 1-148) menyatakan berbagai nilai moral yang penting
ditanamkan pada anak antara lain: kepedulian, kerjasama, berani, keteguhan hati
dan komitmen, Adil, suka menolong, kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan
percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek,
tanggung jawab, toleransi. Di dalam Islam padanan kata yang selalu digunakan
untuk kata moral adalah akhlak. Akhlak didefinisikan sebagai perilaku yang
terjadi secara spontan pada diri seseorang. Perilaku spontan tersebut
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu akhlak terpuji (akhlaq al-mahmudah) dan
perilaku tercela (akhlaq al-mazmumah).
Dari
berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa moral merupakan nilai-nilai
luhur yang disepakati oleh semua orang baik dalam kelompoknya maupun dalam
kelompok orang lain. Oleh sebab pentingnya posisi moral dalam kehidupan, maka
para psikolog tertarik meneliti perkembangan moral pada diri manusia. Hasil
penelitian terhadap perkembangan moral telah melahirkan berbagai teori
perkembangan moral. Teori perkembangan moral yang telah dihasilkan antara lain:
teori perkembangan moral menurut teori psikoanalisa, teori perkembangan moral
menurut teori perkembangan kognitif, dan teori perkembangan moral menurut teori
belajar sosial, berikut ini penjelasan masing-masing teori tersebut tentang
perkembangan moral.
2.2. Teori-Teori
Perkembangan Moral
2.2.1 Perkembangan Moral Anak Menurut Teori
Psikoanalisa
Frued
(1856-1939) mengembangkannya gagasan tentang teori psikoanalisa dari
pekerjaannya dengan para pasien mental. Sebagai dokter medis dengan spesialiasi
ilmu penyakit syaraf (neurology) ia menghabiskan sebagian waktunya untuk
perkembangan kepribadian manusia. Menurutnya kepribadian manusia memiliki tiga
struktur: ide, ego, dan superego. Ide merupakan struktur kepribadian yang
terdiri dari naluri (instinct), yang merupakan gudang energi psikis individu.
Ide tidak sadar secara total; ide tidak memiliki kontak dengan realita. Ketika
anak menghadapi tuntutan dan hambatan realitas, suatu struktur kepribadian baru
muncul yaitu ego. Ego berurusan dengan tuntutan realitas. Ego disebut “badan
pelaksana (executive branch), karena ego membuat keputusan-keputusan rasional. Ide dan ego tidak memiliki moralitas. Ide dan
ego tidak memperhitungkan suatu perbuatan benar atau salah. Ketentuan benar
salah diputuskan superego sebagai struktur kepribadian ketiga. Superego
merupakan badan moral dalam kepribadian dan benar-benar memperhitungkan apakah
sesuatu benar atau salah. Superego mirip dengan apa yang selalu kita sebut
dengan kata hati. (Santrock, 2008: 36)
Menurut
Sigmud Frued, moralitas muncul antara usia 3 dan 6 tahun. Periode ini dikenal
dengan periode munculnya konflik Oedipus dan Electra. Anak-anak usia dini
berkeinginan memiliki orangtua yang berbeda jenis, namun menekan keinginan
tersebut karena takut hukuman dan kehilangan cinta orangtua. Untuk memelihara
cinta orangtuanya, anak-anak membentuk superego, atau kata hati, dengan
mengidentifikasi diri dengan orangtua yang berjenis kelamin sama, pada saat itu
mereka mengambil standar-standar moral yang menjadi kepribadian mereka (Berk,
2006: 477).
Frued menyakini moralitas muncul
sebagai resolusi dari konflik Oedipus dan Elektra selama tahun-tahun
prasekolah. Ketakutan hukuman dan kehilangan cinta orangtua mendorong anak-anak
untuk membentuk superego melalui identifikasi dengan orangtua yang berjenis
kelamin sama dan untuk mengalihkan dorongan permusuhan kepada rasa bersalah
dalam diri anak. Menurut Frued superego berfungsi sebagai pemelihara perilaku
tanpa terikat dengan ganjaran dan hukuman. Superego menyebabkan seseorang mampu
mengatasi godaan, rasa bersalah melakukan perbuatan yang tidak benar dan rasa
malu untuk hal-hal yang tidak pantas, meningkatkan harga diri untuk kebaikan
dan kemampuan. (Brown 1965:176) Superego menyebabkan seseorang meninggalkan
kepuasaan intinstif khususnya meninggalkan agresi.
Moshman (2005:70) menyatakan
meskipun rasa bersalah merupakan sebuah motivasi penting dalam tindakan moral.
Penafsiran Frued tidak selamanya dapat diterima. Bertolak belakang dengan
prediksi Frued pernyataan yang kuat dan penarikan cinta tidak mengembangkan
perkembangan suara hati. sebagai gantinya “induksi” jauh lebih efektif dan
terlihat menanamkan komitmen yang aktif
pada anak-anak terhadap norma-norma moral.
Cheppy (1958: 53) dengan mengutip
Wilder menyatakan perkembangan moral pada anak tidak selalu berkaitan dengan
penolakan anak terhadap dorongan-dorongan dasar seperti yang dikemukakan Frued,
akan tetapi berkaitan dengan penolakan yang bersangkutan terhadap nilai-nilai.
Dia menambahkan bahwa superego berperan dalam memprediksi
konsekuensi-konsekuensi apa yang paling mengecewakan atau sebaliknya
konsekuensi konsekuensi apa yang paling menyenangkan atas suatu perbuatan atau
tindakan.
Berk (2006: 515) menyatakan
tempramen mempengaruhi respon anak-anak terhadap teknik-teknik pengasuhan.
Karena tidak gentar, anak yang impulsif, sebuah hubungan kasih sayang yang aman
memotivasi anak-anak untuk merespon koreksi orangtua terhadap perilaku yang
salah dan mendengarkan induksi-induksi orangtua.
Ide-ide psikoanalisis yang baru
adalah menempatkan penekanan yang lebih besar terhadap pembentukan awal dari
hubungan yang positif antara anak dan orangtua sebagai hal yang penting untuk
pembentukan kata hati. Namun mereka tetap mempertahankan teori Frued yang
berkaitan dengan emosi sebagai dasar perkembangan moral.
Menurut teori psikoanalisis orangtua
yang paling berpengaruh terhadap perkembangan moral anak. Sekolah dan guru
dapat membantu mengembangkan rasa cinta dalam diri anak. Guru dapat menjadi
model bagi orangtua yang paling baik bagi anak dan meningkatkan apa yang telah
ditanamkankan orangtua pada anak. (Husen dan Postlethwaite,1988)
2.2.2 Perkembangan Moral Menurut Teori Kognitif
Teori
perkembangan kognitif, pada awalnya dikemukakan oleh Dewey, dilanjutkan
Piaget,dan disempurnakan Kohlberg, dan selanjutnya dikembangkan oleh beberapa
peneliti lainnya (Sjarkawi,2006:45).
A.
Jean Piaget
Jean Piaget adalah
pakar psikologi dari Swiss yang hidup dari tahun 1896-1980. Pada awalnya Piaget
lebih tertarik meneliti tentang perkembangan kognitif pada manusia. Piaget
berpendapat bahwa anak-anak membangun sendiri secara aktif dunia kognitif
mereka. Informasi tidak sekedar dituangkan ke dalam pikiran anak lewat
lingkungan. Anakanak menyesuaikan pemikiran mereka untuk meliputi
gagasan-gagasan baru. Proses ini selalu dikenal dengan istilah asimilasi dan
akomodasi. (Santrock, 2008: 41)
Piaget menyakini
bermain game dan mengajukan pertanyaan tentang yang ada dalam permainan
tersebut menjadi sebuah “lab on life” [laboratorium kehidupan nyata] bagi anak
untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip moral dikembangkan. Pada tahun 1932
melalui observasi dan wawancaranya terhadap anak-anak usia 4 sampai 12 tahun
Piaget terangsang untuk memikirkan isu-isu moral. Ia mengamati anak-anak tersebut
bermain kelereng sambil berusaha mempelajari bagaimana mereka menggunakan dan
memikirkan aturan-aturan permainan (Piaget, 1962:). Ia juga menanyakan kepada
anak-anak pertanyaan tentang aturan aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman,
dan keadilan. Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan dua cara yang
jelas-jelas berbeda tentang moralitas. Perbedaan tersebut tergantung pada
kedewasaan perkembangan mereka. (Jean Piaget dan Bärbel Inhelder, 1969:124)
Dalam penelitiannya
Piaget pura-pura tidak mengetahui aturan permainan kemudian menanyakan kepada
anak, dari jawaban anakanak tersebut tentang peraturan permainan Piaget dapat
memahami bagaimana anak memahami aturan-aturan dalam permainan tersebut. Penelitian
yang menggunakan pendekatan bermain banyak digunakan dalam penelitian psikologi
atau ekonomi pada saat ini. Teknik menggunakan cerita pendek yang menggunakan
contoh perilaku terpuji dan tercela juga digunakan Piaget untuk meneliti
perkembangan moral.
Setelah anak membaca atau memainkan
peran perilaku terpuji dan tercela anak diminta memberi komentar terhadap
perbuatan tersebut.
Dengan kedua cara ini Piaget
mengemukakan teorinya tentang perkembangan moral.
Hasil penelitiannya menunjukkan empat
tahapan anak dalam memahami aturan-aturan dalam permainan:
a. Anak-anak di bawah usia 4 tahun yang
terlibat dalam permainan gundu. Bermain semata-mata usaha untuk menang, hanya
satu orang anak yang dapat memberikan
jawaban yang berkaitan dengan aturan-aturan
gerakan dalam permainan, tetapi semuanya tidak mengetahui aturan-aturan
sebenarnya dalam permainan tersebut.
b. Anak-anak yang berusia 4 sampai 7
tahun belum sepenuhnya memahami aturan permainan. Belum ada sikap bekerjasama
dan kompetisi yang kuat. Mereka hanya bermain jika mereka senang dan berhenti
jika mereka bosan atau kalah.
c. Anak-anak usia 7 sampai 10 tahun
telah mulai menunjukkan sikap bekerjasama (incipient cooperation). Di dalam bermain
anak belajar dan memahami perilaku bekerjasama dan kompetisi. Namun pemahaman
mereka tentang kedua perilaku tersebut belum sempurna.
d. Anak usia 11 sampai 12 tahun telah
sungguh-sungguh memahami aturan dalam permainan. Piaget menyebutnya dengan kerjasama
sejati (genuine cooperation). Anak-anak pada usia ini menunjukkan perilaku baik
yang sesuai dengan aturan permainan.
Berdasarkan hasil
penelitian tersebut Piaget membagi dua tahap perkembangan moral pada manusia.
Tahap pertama disebut heteronomous morality ialah tahap pertama perkembangan
moral menurut teori Piaget. Tahap ini terjadi pada usia sebelum 7 atau 8 tahun.
Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak
boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia. Misalnya pada tahap ini
anak-anak akan mengatakan bahwa memecahkan dua gelas secara tidak sengaja lebih
buruk daripada memecahkan satu gelas dengan sengaja ketika mencoba mencuri kue.
Piaget berpendapat heteronomous dihasilkan dua faktor. Faktor pertama adalah struktur
kognitif anak. Pada tahap ini pemikiran anak masih bersifat egosentris. (Boden,
1994 : 48)
Oleh sebab itu anak-anak
tidak dapat secara spontan melakukan suatu perbuatan dengan perspekrif orang
lain. Sifat egosentris mendorong anak-anak untuk menonjolkan pemikiran dan
keinginannya sendiri di atas segalanya. Egosentrisme anak ini kemudian
berasosiasi dengan berbagai peraturan dan kekuasaan yang mengarahkan perilaku
dan pemikiran moral heteronomous serta dengan berbagai bentuk realisme moral.
Realisme moral
berasosiasi dengan tanggung jawab objektif dimana nilai isi hukum di atas
tujuan hukum. Hal inilah yang menyebabkan anakanak lebih berkepentingan dengan
hasil perilaku daripada niat melakukan perilaku tersebut. Realisme moral
diasosiasikan dengan keyakinan “keadilan yang bersifat immanet” pada diri anak.
Faktor kedua yang berkontribusi terhadap pemikiran heteronomous moral adalah
hubungan sosial kekeluargaan dengan orang dewasa. Secara natural otoritas dalam
hubungan antara anak-anak dan orang dewasa adalah kekuasaan dari atas ke bawah.
Hubungan keluarga yang lemah pada anak usia dini berkaitan dengan egosentris
anak menghidupkan orientasi moral heteronomous pada anak.
Tahap kedua adalah autonomous morality
ialah tahap dimana anak-anak memperlihatkan bahwa mereka menjadi sadar akan
aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia dan dalam menilai
suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud pelaku dan juga
akibat-akibatnya. Tahapan ini terjadi pada anak-anak usia 7-10 tahun. Misalnya
kasus memecahkan gelas seperti yang dikemukakan di atas bagi anak-anak yang
berada pada tahap autonomous morality,
perbuatan yang lebih buruk adalah perbuatan memecahkan satu gelas dengan
sengaja pada saat mencuri kue.
Carol Gilligan dalam
Santrock (2008) mengkritik Piaget dan Psikolog pria lainnya yang memandang
negatif pada perkembangan moral pada wanita. Dengan membandingkan kasus Jake
dan Amy, Gilligan menyatakan bahwa laki-laki dalam mengambil keputusan moral
didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang abstrak, sedang wanita dalam
mengambil keputusan moral didasarkan pada perhatian dan kasihan.
B.
Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg
dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1925 di Bronxeville (New York). Kohlberg
sangat tertarik dengan karya Piaget yang berjudul The Moral Judgment of the
Child. Ketertarikannya tersebut mendorongnya untuk melakukan penelitian
tentang proses perkembangan “Pertimbangan Moral” pada anak. Penelitian tersebut
yang dilakukannya dalam rangka menyelesaikan disertasinya di Universitas
Chicago tahun 1958 dengan judul: The Developmental of Modes Moral Thinking
and Choice in The Years 10 t0 16. (Kholberg, 1995: 11-22) Penelitian
tersebut dilakukan Kohlberg dengan mengadakan tes kepada 75 orang anak
laki-laki yang berusia antara 10 hingga 16 tahun. Tes tersebut berbentuk
pertanyaan-pertanyaan yang dikaitkan dengan serangkaian cerita dimana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema moral. Misalnya seorang suami yang harus
mencuri obat dari toko obat untuk istrinya yang sakit, karena tidak tidak memiliki
uang yang cukup untuk membeli obat tersebut. Berdasarkan penalaran-penalaran
yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral yang dihadapinya,
Kohlberg percaya bahwa ada tiga tingkat perkembangan moral yang masing-masing
ditandai dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral menurut
Kohlberg adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara
internal.
Tingkatan perkembangan pada manusia
moral menurut Kohlberg adalah: pertama, Prakonvensional (preconventional).
Tingkat ini terjadi pada anak anak prasekolah atau pelajar sekolah dasar, yaitu
pada usia 4-10 tahun. Ini adalah tingkat yang paling rendah, pada tingkat ini,
anak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.
Tingkat ini dibagi
kepada dua tahap: tahap pertama, orientasi hukuman dan ketaatan, dan tahap
kedua individualisme dan tujuan. Kedua, Konvensional (conventional). Pada
tingkat ini, seseorang menaati moral didasarkan pada standar-standar (internal)
tertentu, tetapi mereka belum menaati standar-standar orang lain (eksternal),
seperti orangtua atau aturan-aturan masyarakat. Tingkat ini dibagi kepada tahap
norma-norma interpersonal (seseorang menghargai kebenaran, kepedulian, dan
kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral) dan tahap
moralitas sistem sosial (pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan
sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban). Ketiga, Pascakonvensional
(postconventional). Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan
dan tidak didasarkan pada standar-standar
orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki
pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
Tingkat dibagi kepada duatahap: tahap hak-hak masyarakat versus hak-hak
individual dan tahap prinsip-prinsip etis universal. (Fraenkel, 1977:56)
Kohlberg menyakini bahwa dilema moral dapat digunakan untuk meningkatkan
pemikiran moral anak, tetapi hanya pada satu tahap. Dia menyatakan bahwa cara
anak maju dari satu tahap ke tahap berikutnya adalah melalui intreraksi dengan
anak lain yang berada satu tahap atau dua tahap di atasnya. Guru dapat membantu
kemajuan pemikiran moral anak anak dengan menyediakan diskusi tentang isu-isu
keadilan dan moral ke dalam pembelajaran, khususnya dalam merespon berbagai
peristiwa yang muncul di dalam kelas atau di masyarakat luas. (Slavin, 2008:
55) Kohlberg menyatakan asumsi teori kognitif tentang perkembangan moral adalah
sebagai berikut:
· Perkembangan moral berbasis pada struktur
kognitif atau komponen pembenaran moral.
· Motivasi dasar moralitas adalah
motivasi yang umum antara lain penerimaan, kompetensi, harga diri, realisasi
diri lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan biologis dan mengatasi kecemasan
atau rasa takut.
· Aspek-aspek mayor perkembangan moral
adalah universalitas kultur, sebab semua kultur memiliki sumber interaksi
sosial dan konflik sosial yang sama yang mensyaratkan integrasi moral.
· Norma dan prinsip moral yang mendasar
adalah struktur yang muncul melalui pengalaman yang diperoleh lewat interaksi
sosiallebih dari sekedar melalui internalisasi aturan sebagai struktur eksternal.
Tahapan moral tidak dapat ditetapkan dengan internalisasi peraturan tetapi
dengan struktur interaksi antara diri dengan orang lain.
· Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
moral didefenisikan sebagai kualitas dan keluasaan kognitif dan stimulasi
sosial sepanjang perkembangan anak lebih dari sekedar pengalaman khusus dengan
orangtua atau pengalaman disiplin yang mencakup hukuman dan ganjaran.
Berbagai penelitian
telah dilakukan dengan menggunakan teori Kohlberg sebagai acuan. Penelitian Nichols
dan Bennett (2002) tentang tujuan moral pada anak, menunjukkan bahwa anak-anak
memiliki tujuan moral dari perbuatan-perbuatan moral yang dilakukannya.
Dua eksprimen yang
dilakukan pada 19 orang anak usia 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun pada pusat
pengembangan anak usia dini N.E. Miles di Universitas Charleston dan 13 anak
usia 5 tahun pada Sekolah O’Quinn di James Island, Carolina Selatan menemukan
bahwa tujuan moral pada anak memahami perbuatan moral sebagai sesuatu yang
independen. Anak-anak dapat membedakan makna baik dengan menyenangkan atau
buruk dengan yang menjijikkan. Penelitian Sihkabun (2004) tentang pengembangan
bahan pembelajaran pendidikan moral dengan metode diskusi dilema moral pada
siswa SMU/SMK menemukan bahwa penggunaan metode diskusi dilema moral efektif
dalam meningkatkan pertimbangan moral siswa. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa tidak terdapat interaksi pengaruh penggunaan metode dengan jenis kelamin
terhadap peningkatan pertimbangan moral pada siswa. Penelitian tentang moral
anak Taman Kanak-kanak juga pernah dilakukan Yonghee Hong (2003) pada anak-anak
Korea. Penelitian yang dilakukan dengan studi etnografi tersebut mencapai kesimpulan
bahwa anak-anak usia 5 tahun telah dapat melakukan alasan-alasan sebuah
perbuatan moral, mengetahui situasi-situasi yang menyebabkan terjadinya
masalah-masalah moral, mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah-masalah
moral, memperkirakan konsekuensi dari perbuatan melanggar moral, dan mencari jalan
keluar dari masalah-masalah moral yang terjadi.
Meskipun demikian Teori
Kohlberg tidak lepas dari kritik. Teori Kholberg dikritik karena memberi
terlalu banyak penekanan padapenalaran moral dan kurang memberi penekanan pada
perilaku moral. Penalaran moral kadang-kadang dapat menjadi tempat perlindungan
bagi perilaku immoral. Seperti para penipu, koruptor, dan pencuri mungkin
mengetahui apa yang benar, tetapi masih melakukan apa yang salah. Kritik lain
terhadap pandangan Kohlberg ialah bahwa pandangan ini secara kebudayaan bias.
Suatu tinjauan penelitian terhadap perkembangan moral di 27 Negara menyimpulkan
bahwa penalaran moral lebih bersifat spesifik kebudayaan daripada yang
dibayangkan oleh Kohlberg dan bahwa sistem skor Kohlberg tidak mempertimbangkan
penalaran moral tingkat tinggi pada kelompok-kelompok kebudayaan tertentu.
Penalaran moral lebih
dibentuk oleh nilai-nilai dan keyakinankeyakinan suatu kebudayaan daripada yang
dinyatakan oleh Kohlberg. Carol Gilligan percaya bahwa teori perkembangan moral
Kohlberg tidak mencerminkan secara memadai relasi dan keperdulian terhadap manusia
lain. Perspektif keadilan (justice prespective) ialah suatu perspektif moral
yang berfokus pada hak-hak individu; individu berdiri sendiri dan bebas mengambil
keputusan moral.
Teori Kohlberg ialah suatu
perspektif keadilan. Sebaliknya, perspektif kepedulian (care perspective) ialah
suatu perspektif moral yang memandang manusia dari sudut keterkaitannya dengan
manusia lain dan menekankan komunikasi interpersonal, relasi dengan manusia
lain, dan kepedulian terhadap orang lain. Teori Gilligan ialah suatu perspektif
kepedulian. Menurut Gilligan, Kohlberg kurang memperhatikan perspektif
kepedulian dalam perkembangan moral. Ia percaya bahwa hal ini mungkin terjadi karena
Kohlberg seorang laki-laki, karena kebanyakan penelitiannya adalah dengan
laki-laki daripada
dengan perempuan, dan karena ia
menggunakan respons laki-laki sebagai suatu model bagi teorinya. Salah satu
moral yang telah muncul sejak anak-anak adalah alturisme. Altruisme ialah suatu
minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang. Timbal
balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam altruisme.
Timbal balik ditemukan
di seluruh dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk berbuat baik
kepada orang lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang sama
kepada mereka. Sentimen-sentimen manusia disarika dalam timbal balik ini. Barangkali
kepercayaan adalah prinsip yang paling penting dalam jangka panjang dalam
altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas (melakukan
timbal balik), dan kemarahan dapat terjadi kalau seseorang tidak melakukan
timbal balik. Tidak semua altruisme dimotivasi oleh timbal balik dan pertukaran,
tetapi interaksi dan reaksi dengan orang lain dapat menolong kita memahami hakekat
altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan altruisme ialah emosi
yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan atau suatu relasi yang
erat antara dermawan dan penerima derma. William Damon menggambarkan suatu
urutan perkembangan altruisme anak-anak, khususnya berbagi (sharing). Hingga
usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan yang nonempatis; pada
kirakira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan orang dewasa
menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahuntahun awal sekolah dasar,
anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan gagasan-gagasan yang
lebih obyektif tentang keadilan. Pada masa ini prinsip keadilan mulai dipahami;
pada tahun-tahun pertengahan dan akhir sekolah dasar, prinsip-prinsip prestasi
dan kebajikan dipahami.
2.2.3 Perkembangan
Moral Menurut Teori Belajar Sosial
Albert
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di sebuah kota kecil, Mundare, yang
terletak Alberta bagian utara, Kanada. Menyelesaikan studinya pada bidang
psikologi pada tahun 1949 di Universitas British Columbia. Pada tahun 1952
memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Iowa. Pada tahun 1953 ia telah menjadi
dosen tetap di Universita Stanford. Bukunya yang terkenal adalah Adolescent
Aggression, yang ditulis pada tahun 1959. Bandura telah menjadi Presiden APA
pada tahun 1973. Dia telah menerima APA Award untuk kategori Distinguished
Scientific Contributions pada tahun 1980. Sampai saat ini Bandura masih bekerja
Universitas Stanford.
Bandura mengemukakan teori belajar
sosial. Belajar menurut teorinya adalah pembelajaran lewat tokoh. Ada empat hal
yang harus diperhatikan dalam belajar dengan proses pembelajaran modeling,
yaitu:
(1) Perhatian
(attention). Hasil pembelajaran hanya dapat dicapai dengan baik jika ada
perhatian terhadap model yang akan ditiru. Oleh sebab itu model-model yang
harus ditiru mesti dibuat semenarik mungkin. Misalnya model yang berwarna dan
dramatik, atraktif, bergengsi, kompeten akan lebih menarik perhatian. Bagi
anakanak model-model yang mirip dengan dirinya akan lebih menarik perhatiannya.
(2) Ingatan
(retention). Seorang yang belajar meniru sesuatu harus mengingat apa yang telah
diperhatikannya.
Dia harus menyimpan informasi dari pengamatan yang dilakukannya kemudian
membawanya ke dalam imajinasi atau diskripsi sehingga dia dapat melakukan hal
yang diamatinya.
(3) Reproduksi.
Pada tahap ini reproduksi perilaku yang ditiru dari model.
(4) Motivasi.
Seseorang akan melakukan peniruan jika ia termotivasi untuk meniru perilaku
tersebut. Bandura menyebutkan empat macam motif: penguatan masa lalu (past
inforcement), penguatan yang dijanjikan (promised inforcement), penguatan
seolah mengalami sendiri (vicarious
inforcement). Bandura melihat bahwa hukuman tidak dapat meningkatkan motivasi
sebaik penguatan.
Teori
belajar sosial memandang perilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dengan
respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan.
Model-model yang
efektif sesuatu yang hangat dan kuat dan pertunjukan yang konsisten antara apa
yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Lewat pembelajaran modeling anak-anak
usia dini terjadi internalisasi berbagai perilaku prososial dan aturan-aturan
lainnya untuk tindakan yang baik. (Berk, 2006: 480)
Hukuman yang kasar tidak mendukung
internalisasi moral dan perilaku sosial yang dimaksudkan. Anak-anak yang
berhubungan dengan model-model yang agresif cenderung meniru perilaku agresif.
Demikian juga anak-anak yang dididik dengan perilaku agresif cenderung menjadi
agresif.
Menurut
Santrock teori belajar sosial menyatakan bahwa perkembangan moral dipengaruhi
secara ekstensif oleh situasi. Situasi yang ekstensif ini diperoleh lewat
proses penguatan, penghukuman, dan peniruan. Di samping itu agar anak-anak
dapat berperilaku sesuai dengan aturan moral kendali diri anak harus
dikembangkan. Anakanak harus belajar sabar menunda kenikmatan. Contoh latihan
kesabaran dilakukan Mischel dan Pattersons sebagaimana dikutip Santrock (1995)
dalam sebuah investigasi. Dalam investigasi tersebut mereka meminta anak-anak
prasekolah melakukan pekerjaan yang membosankan dan di dekatnya ada badut yang
mengajaknya bermain. Anak-anak yang terlatih akan mengatakan: “Aku tidak akan
melihat Pak Badut ketika Pak Badut memintaku melihatnya.” Anak-anak yang
terlatih lebih tahan lama mengerjakan pekerjaan yang membosankan tersebut
daripada anak-anak yang tidak terlatih. Kurtines dan Gewirtz dalam
penelitiannya menemukan dalam situasi kehidupan yang nyata dimana anak-anak
berkesempatan untuk melanjutkan minatnya, anak selalu memagari minatnya dengan
prinsipprinsip moral yang sesuai. Dalam penelitian tersebut mereka meminta 4
orang anak membuat gelang untuk mereka dan pekerjaan tersebut diberi imbalan 10
batang permen. Tugas anak-anak adalah memustuskan bagaimana pembagian yang adil
terhadap 10 batang permen tersebut untuk 4 orang anak. Mereka melakukan
penelitian ini pada 4 kelompok anak yang berusia 4-10 tahun. Anak-anak yang lebih
muda selalu mengambil permen lebih banyak untuk dirinya sendiri dan anak-anak
yang lebih tua menggunakan prinsip ketepatan dan keseimbangan. Mereka
berkesimpulan bahwa anak usia 10 tahun lebih konsistendapat menselaraskan
antara minat dan perilaku moralnya. (Kurtines dan Gewirtz, 1984: 117-118)
Nace
Toner dan koleganya (1978) dalam Santrock (1995) menemukan anak usia 6-8 tahun
yang dipersuasi dengan model yang mengajarkan moral lebih dapat mengendalikan
diri
dari godaan
daripada anakanak yang tidak memiliki model untuk ditiru. Implikasi dari
penemuan ini menurutnya dapat membantu orangtua mengontrol perilaku-perilaku yang
tidak diingini pada anak dengan menggunakan model-model yang dapat ditiru anak.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas Kohlberg menyatakan bahwa asumsi teori belajar sosial
tentang perkembangan moral adalah:
· Perkembangan
moral adalah pertumbuhan perilaku dan kesesuaian afektif terhadap peraturan
lebih dari sekedar perubahan struktur kognitif.
· Motivasi dasar
moralitas pada setiap perkembangan moral berakar pada kebutuhan biologis atau
mengejar ganjaran sosial dan menghindari hukuman sosial.
· Perkembangan
moral atau moralitas relatif berdasarkan kultur.
· Norma-norma
moral yang mendasar adalah internalisasi dari aturanaturan kultural yang
bersifat eksternal.
· Lingkungan
mempengaruhi perkembangan moral yang normal, artinya variasinya secara kuantitatif
diperkuat dengan ganjaran, hukuman, larangan, atau model yang sesuai dengan
perilaku moral yang dapat dilakukan oleh orangtua dan agen sosial lainnya.
Beberapa
teori perkembangan moral di atas telah dikomentari oleh beberapa ahli tentang
kekurangan dan kelemahan tiap teori tersebut. Menurut Loftabadi perkembangan
moral tidak hanya didasarkan pada disebabkan oleh perkembangan kognitif
(Piaget) dan
Kohlberg dan
pemodelan (Bandura), tetapi juga dipengaruhi oleh sifat bawaan anak dan
lingkungan yang memiliki intensitas tinggi dalam kehidupananak (Loptabadi,
2010: 15) . Misalnya anak mengetahui bahwa menyontek dalam ujian adalah
perbuatan yang salah, dia juga telah melihat akibat jelek yang diterima orang
yang menyontek, namun karena mayoritas temannya menyontek dalam ujian atau dia
tidak sempat belajar karena ibunya sakit pada malam sebelum ujian, akhirnya dia
ikut melakukan perbuatan menyontek.
2.3
Pengembangan Moral
Mengingat
pentingnya moral yang baik dalam kehidupan manusia, maka berbagai cara mengembangkan
moral telah dilakukan. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa cara pengembangan
moral yang baik dilakukan melalui pencontohan/keteladanan. Allah telah
berfirman dalam Q.S. al-Qalam/68:4 yang artinya: dan Sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Ibnu
Kasîr menafsirkan ayat ini dengan mengutip al-‘Aufi yang meriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas: “Sesungguh engkau benar-benar dalam agama yang agung, yaitu Islam.”
Riwayat yang sama dikemukakan Mujahid, Abu Malik as-Suddi, dan ar-Rabi’ bin
Anas. Adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid ‘Athiyyah mengatakan: “Engkau benar-benar di
dalam etika yang agung. Sedangkan yang dimaksud dengan kata “engkau” adalah
Muhammad saw. Ma’mar menceritakan dari Qatadah, ‘Aisyah pernah ditanya tentang
akhlak Rasulullah, maka dia menjawab: “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.”
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih Muslim dari Qatadah dengan
hadis yang cukup panjang dapat ditarik kesimpulan bahwa Rasulullah adalah
percontohan bagi akhlak-akhlak dalam al-Qur’an. Seluruh perilaku beliau
merupakan
pelaksanaan
perintah dan meninggalkan larangan dalam al-Qur’an. Akhlak yang agung yang telah
Allah berikan kepada beliau antara lain: rasa malu, pemurah, pemberani, pemaaf,
sabar, serta semua akhlak mulia yang dianjurkan dalam al-Qur’an. Di dalam kitab
ash-Shahihain dari Anas, dia berkata: Aku pernah melayani Rasulullah selama
sepuluh tahun, selama itu beliau tidak pernah mengatakan: “Ah,’ sama sekali
kepadaku. Dan beliau juga tidak pernah mengomentari sesuatu yang aku kerjakan
dengan mengatakan: “Mengapa engkau kerjakan itu? Dan juga tentang sesuatu yang
belum aku kerjakan, dengan mengatakan: “Mengapa engkau tidak mengerjakannya?
Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Beliau tidak pernah memakai
kain bulu yang ditenun dan sutra. Tidak ada yang lebih lembut dari telapak tangan
Rasulullah. Dan aku tidak pernah mencium bau harus dan wangi-wangian yang lebih
wangi dari keringat Rasulullah. Hadis di atas menunjukkan bahwa Allah swt telah
menjadikan Rasulullah
Muhammad saw sebagai teladan bagi umat Islam untuk mencontoh akhlak-akhlak yang
terpuji. Hal ini ditegaskan Rasulullah dalam hadisnya yang diriwayatkan Imam
Ahmad dari Abu Hurairah, artinya: ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.”
Di
dalam dunia pendidikan berbagai upaya pengembangan moral telah dilakukan dalam
berbagai model-model pembelajaran. Integrasinilai-nilai moral ke dalam
pembelajaran di sekolah juga dapat dilakukan dalam berbagai cara mulai dari
bentuk fragmentasi sampai integrasi. J.P.
White (1975) mengatakan bahwa kurikulum sekolah harus memasukkan unsur moral.
Kerr dalam Downey dan Kelly (1978: 157) bahwa pembelajaran moral harus menjadi
kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) di sekolah. Budiningsih (2004:
2) dengan mengutip Suparno menyatakan ada 4 (empat) model penyampaian
pembelajaran moral, yaitu: (1) model sebagai mata pelajaran tersendiri, (2)
model terintegrasi dalam semua bidang studi, (3) model di luar pengajaran, dan
(4) model gabungan. Martin dan Reigeluth (1999: 493-499) menyatakan
perkembangan moral merupakan salah satu komponen pembelajaran nilai atau afektif.
Keduanya menyatakan ada tujuh isu yang berkaitan dengan desain pengembangan
kurikulum afektif. Salah satu isu tersebut adalah kurikulum terpadu yang
merujuk kepada bagaimana topik-topik atau programprogram afektif diintegrasikan
ke dalam subjek-subjek dalam kurikulum. Program-program afektif mengalir di dalam
kurikulum tersebut. Salah satu program afektif tersebut adalah memasukkan
nilai-nilai moral ke dalam kurikulum terpadu.
Norton
dalam Martin dan Reigeluth (1999:501) mengaplikasikan “pemagangan afektif” (affective
apprenticeship) atau “pemagangan dalam pengasuhan” (apprenticeship in caring) dalam
pendidikan moral. Dia menjelaskan satu metode “pemagangan dalam pengasuhan” yang
mirip dengan langkah-langkah pemagangan kognitif yaitu: modeling menunjukkan
proses bagaimana moral dicapai, dialog dalam rangka mengeluarkan pemikiran dari
guru dan siswa, dan praktik yang mencakup pemagangan dalam masyarakat.
Program
pendidikan moral dilakukan secara terpadu dengan menggunakan metode-metode pembelajaran
tidak langsung termasuk restrukturisasi sekolah untuk mendukung pengasuhan.
Sharma (2006: 32-58) menjelaskan beberapa proyek modelpendidikan moral yang
pernah dipublikasikan antara lain: Farmington Trust, McPail: Sekolah Kita (Our
School) dan Sugarman dengan programSekolah
dan Perkembangan Moral (The School and Moral Development). Farmington Trust
adalah proyek pendidikan moral ini dilakukan Jhon Wilson sebagai direktur unit
penelitian Farmington Trust pada tahun 1965 dan dipublikasikan pada
tahun 1967.
Kurikulum ini menyediakan materi-materi pendidikan moral yang dapat digunakan sekolah
dalam sebuah buku yang diberi judul First Steps in Morality. Wilson mengatakan bahwa
pembelajaran moral harus berdiri diri sebagai sebuah mata pelajaran.
Metode
pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran moral adalah metode pembelajaran
langsung, di antara metode yang dipergunakan adalah drama, diskusi, dan bermain
peran. Pembelajaran moral sebaiknya dilakukan oleh guru-guru yang berpengalaman
dan telah mendapatkan pelatihan yang intensif. Pembelajaran moral akan berhasil
bila sekolah berlangsung dengan demokratis. Situasi sekolah yang demokratis
akan mendorong anak memiliki
otonomi moral. Meskipun Wilson dalam Sharma (2006: 44) mengakui sangat sulit
untuk mengetahui pengaruh pengetahuan moral pada orangorang yang terdidik
secara moral terhadap perilaku bertanggung jawab. Namun dia menyatakan bahwa
sistem sekolah
dan sikap guru memainkan penting dalam perkembangan
moral peserta didik. McPhail dalam Sharma (2006;53) dengan program Our School (sekolah
kita) menyatakan demokrasi merupakan hal yang penting diperkenalkan di dalam
struktur sekolah. Menurutnya perkembangan moral harus didorong dengan struktur
organisasi sekolah yang mendukung komunikasi antara guru dan murid. Menurutnya
melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar memahami dan menghargai
mereka sebagai individu dengan mempertimbangkan perasaan, kebutuhan dan
niat-niat mereka. McPhail menyatakan komunikasi memiliki 4 kemampuan:
penerimaan (reception), penafsiran (interpretation), tanggapan (response), dan
pesan (massage).
Penerimaan
tidak hanya berkaitan dengan kemampuan mendengarkan orang lain tetapi sekaligus
memahami secara keseluruhan tentang apa yang mereka katakan dan menyadari apa
yang mereka sampaikan secara implisit melalui perubahan intonasi dan
sebagainya. Penafsiran berkaitan dengan kemampuan membuat pengertian tentang
apa yang telah dikatakan oleh orang lain. Hal ini tidak mudah bagi anak-anak
yang masih muda. Tanggapan adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan
tanggung jawab atas apa yang telah mereka katakan. Membuat keputusan memiliki
konsekuensi moral untuk diri sendiri dan orang lain. Pesan adalah kemampuan
yang berkaitan dengan membuat satu kata yang jelas dan tidak bermakna ganda.
Menurutnya pendidikan moral akan dapat berlangsung dengan baik jika para guru
memberikan bimbingan moral bukan pengarahan moral.
Sugarman
adalah mitra kerja Wilson pada proyek penelitian Farmington Trust, tetapi dia
tidak mendukung pembelajaran langsung terhadap isu-isu moral. Menurutnya
situasi sekolah memiliki peranan yang sangat signifikan dalam perkembangan
moral anak. Sekolah dapat menjadi jembatan antara keluarga dan lingkungan yang
lebih luas bagi seorang anak. Oleh sebab itu sekolah harus memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan kondisi yang mendukung pendidikan moral yaitu: hubungan
antar murid, aturan-aturan dalam sistem pembelajaran, dan situasi pembelajaran
yang alamiah (Sharma:2006: 49).
Memasukkan
nilai-nilai moral pada pelajaran kesusastraan pada anak juga telah dilakukan. Misalnya
pada tema Water Baby oleh Kingsley (1862) yang bercerita tentang penebusan
dosa. Cerita Tom Brown’s Schoolday oleh Farrar (1857) yang menceritakan contoh balasan-balasan
perbuatan baik (Sharma, 2006: 50). Memasukkan nilai-nilai moral pada mata
pelajaran sejarah juga telah dilakukan. Misalnya anak-anak belajar tentang
peperangan yang
disebabkan konflik keagamaan, pemberontakan, gerakan-gerakan revolusi atau
protes, atau tentang diskriminasi hak pada masa lalu. Melalui materi-materi ini
mereka diajarkan berpikir secara historis dan mereka terlibat dengan berbagai
permasalahan sikap, perasaan, dan perilaku moral yang terabaikan (Sharma, 2006:
51). Di antara berbagai area kurikulum yang dapat digunakan sebagai basis
pendidikan moral, agama diklaim sebagai bidang yang bertanggung jawab
memasukkan nilai moral, karena dalam agama nilai-nilai moral telah diwahyukan
(Sharma, 2006: 53). Laporan Plowden (1967) menyatakan bahwa nilai-nilai
spiritual dan moral saling bergandengan (Sharma, 2006: 55).
Sekolah
di Maine, pada awal tahun 1980-an telah meluncurkan sebuah program pendidikan
yang berpusat pada 6 (enam) nilai yang tidak memiliki kontroversi yaitu: respek,
keberanian, kejujuran, keadilan, kesediaan untuk bekerja, dan disiplin diri.
Setiap sekolah dituntut untuk memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam seluruh
kurikulum dan kegiatan
harian sekolah (Lickona, 1999: 166). Lebih
dari itu dituntut pula selama satu tahun ajaran satu dari 6 (enam) nilai
tersebut harus menjadi “Nilai satu Tahun.” Misalnya, selama “Tahun Nilai
Disiplin Diri” pimpinan sekolah harus memberikan saran-saran yang relevan
kepada para guru untuk memasukkan nilainilai tersebut kedalam semua mata pelajaran:
misalnya guru sejarah dapat menggambarkan model disiplin diri dari kajian
literatur. Muridmurid dapat diminta menulis komposisi yang berkaitan dengan
sifatsifat yang paling penting dari karakter tersebut. Sementara guru seni dan
musik dapat menguji kehidupan artis-artis dan komposer-komposer besar sebagai
model dari disiplin diri (Lickona, 1999: 166). Di Inggris, Institute Josepshon
(1992) telah memasukkan 6 (enam) pilar karakter ke dalam perundang-undangan
pendidikan. Keenam nilai tersebut adalah sifat dapat dipercaya, respek,
bertanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan kewarganegaraan (Berkowitz, 2007).
Di
Indonesia pendidikan terpadu berbasis karakter yang menggunakan pendekatan pembelajaran
terpadu telah menjadikan nilai moral sebagai basis pembentukan karakter.
Nilai-nilai moral yang digunakan disebut 9 (sembilan) pilar nilai-nilai
karakter. Model pembelajaran ini telah dikembangkan oleh Indonesia Heritage
Foundation (IHF). Kurikulum ini telah mengintegrasikan 9 (sembilan) nilai
karakter yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2) Kemandirian dan
Tanggung Jawab, (3) Kejujuran/Amanah, Bijaksana, (4) Hormat dan Santun, (5) Dermawan,
Suka Menolong dan Gotong Royong, (6) Percaya diri, Kreatif, dan Pekerja Keras,
(7) Kepemimpinan dan Keadilan, (8) Baik dan Rendah Hati, (9) Toleransi,
Kedamaian, dan Kesatuan (Megawangi, 2007: 100). Sembilan pilar tersebut diintegrasikan
ke dalam berbagai aspek pengembangan pada pembelajaran terpadu di sekolah.
Penelitian Dwi Hastuti (2006) yang berjudul “Analisa Pengaruh Model Pendidikan Prasekolah
Pada Pembentukan Anak Sehat, Cerdas dan Berkarakter”.
Penelitian
yang dilakukan dengan merancang tiga bentuk pendidikan, yakni pra-sekolah
antara lain Taman Kanak-kanak, KP SBB (Kelompok Prasekolah Semai Benih Bangsa)
dan non Taman Kanak
kanak (tanpa pendidikan
prasekolah). Disertasi ini bertujuan melihat model pendidikan mana yang paling
kuat untuk membentuk anak yang tahan stress dan memiliki kelekatan emosi dengan
ibunya. Pendapatan keluarga, pendidikan orangtua, dan lingkungan fisik rumah menjadi
variabel kontrol. Hasilnya adalah anak-anak dari kelompok KP SBB yang memiliki
pendapatan
perkapita paling rendah ternyata memiliki skor stres paling rendah, dan
kelekatan emosi ibu anak paling tinggi dibandingkan dua kelompok lainnya.
Kondisi
tersebut, katanya, karena pada KP SBB menerapkan moral knowing, moral feeling,
dan moral action (Kompas, 26 Mei 2006).
Penelitian
Masganti (2009) tentang kompetensi moral anak usia dini menujukkan bahwa pengembangan
moral anak harus dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:
1.
Mengenalkan/mendiskusikan nilai-nilai moral kepada peserta melalui diskusi
dilema moral. Misalnya mendiskusikan kebersihan lingkungan: mengapa, siapa, dan
bagaimana penyelesaiannya.
2. Mengajak
peserta didik melakukan alternatif-alternatif yang dipilih dalam melakukan
nilai nilai moral yang telah didiskusikan. Misalnya membuang sampah pada
tempatnya atau bersedia mengutip sampah yang ada di lingkungan sekolah.
3. Mengajak
peserta didik mengenali/mengungkapkan perasaan yang muncul setelah melakukan
alternatif pemecahan masalah moral yang dipilih. Misalnya setelah seminggu
progam membersihkan sekolah dilaksanakan, siswa dikumpulkan untuk mengatakan
berbagai perasaannya setelah melakukan kesepakatan membersihkan lingkungan sekolah.
2.4
Studi Kasus Perkembangan Moral dan Penanganannya
Seiring dengan perkembangan zaman
satu persatu mulai bermunnculan sosok-sosok yang menjadi wabah dan idola
para remaja salah satunya adalah demam korea. Para remaja mulai mengagumia
mereka mulai dari tata rias, cara berpakain, hingga kehidupan para idola itu.
Dengan mewabahnya demam korea para remaja mulai mengikuti apa yang menjadi
budaya di korea itu hingga apa pun yang dilakukan idolanya itu menjadi daya
tarika utuk ditiru bahkan menjadi transcenter. Demam korea ini dapat mengganggu
perkembangan moral pada fase remaja
karena mereka bisa saja melupakan budaya
yang ada di Indonesia dan mnganut budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Tak sedikit remaja yang memakai pakaian
yang bermodelkan korea style tanpa perduli apakah pakaian itu pantas di
gunakan, dan cocok dengan budaya di
Indonesia. Hal ini berawal dari banyaknya
remaja yang kurang mengerti budaya di Indonesia dan juga kurangnya
bimbingan dari orang tua masing-masing. Pengaruh-pegaruh
budaya luar ini dapat di kurangi dengan
adanya pengarahan dari para orang tua menganai apa yang boleh digunakan dan
tidak. Selain itu adanya penyaringan budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia
dan disesuaikan dengan budaya yang ada di Indonesia.
Hal tersebut disebabkan karena banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar,
siaran-siaran, kesenian-kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar dan
tuntunan moral pancasila dan kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang
dngan cara yang baik, dan yang membawa kepada pembinaan moral. Suatu hal yang
belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan,
gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang seolah-olah mendorong anak
muda untuk mengikuti arus mudanya.
Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, hasil-hasil seni itu
sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak dapat
dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua
yang tersimpan didalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat
dalam cerita, lukisan atau permainan tersebut. Inipun mendorong anak muda ke
jurang kemerosotan moral. Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya
moral anak-anak muda ialah kurangnya
bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan baik dan sehat. Umur muda adalah
umur suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa
bimbingan dalam mengisi waktunya maka akan banyak lamunan dan kelakuan yang
kurang sehat timbul dari mereka.
Salah
satu penanganannya adalah dengan menanamkan moral pancasila dan budaya dengan
cara yang asyik dan kekinian. GBHN tahun 1999 mengamanatkan
kepada masyarakat (sekolah) untuk memberlakukan pendidikan budi pekerti sebagai
pelajaran wajib diberikan dalam
kehidupan siswa dan warga sekolah. Hal ini dapat dipahami, karena salah satu
misi pendidikan adalah bagaimana melindungi, melestarikan dan mengembangkan
budaya bangsa dan budi pekerti yang luhur dalam tata kehidupan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Jahja,
Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan.
Jakarta : Kencana
Desmita.
2009. Psikologi Perkembangan Peserta
didik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral: Suatu Studi dan Aplikasi
Sosiologi Pendidikan, Terjemahan Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga
HC, Cheppy, 1988. Pendidikan Moral dalam Beberapa Pendekatan. Jakarta:Depdikbud
Henderson, Stella. 1964. Van Petten, Introduction to Philosophy of
Education. Chicago: The University of Chicago Press.
Kholberg, Lawrence. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Moral, Terj. Jhon
de Santo dan Agus Cremers.Yogyakarta: Kanasius
Salam, Burhanuddin. 2000. Etika Individul Pola Dasar Filsafat Moral.Jakarta:Rineka
Cipta.
Sjarkawi.2006. Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual,Emosional, dan
Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara.
Komentar
Posting Komentar
eviauliapy@gmail.com